Bapernya Ibu Muda Akibat Buku Susah Sinyal (Ika Natassa & Ernest Prakasa)

Aku mengenal karya-karya Kak Ika Natassa sekitar tahun 2007, jaman SMA. Lalu berlanjut sampai sekarang. Rasanya, aku cocok dengan tulisan-tulisannya. Fans buku-buku Kak Ika cukup banyak, bahkan sampai ada yang delusional dan jatuh cinta dengan tokoh-tokohnya. Been there. Yap, pernah juga ngerasa delusional, tapi sekarang gak terlalu lagi.

https://photos.app.goo.gl/abMtHqOCYoOrV1L93

I still love her books until now. Aku pernah ada di barisan orang yang siap Pre Order (PO) berdarah-darah karena saking cepetnya ludes setiap PO buku Kak Ika. Apalagi join di grup readersnya di Line. Info PO buku pun jadi lebih cepet tau dan lebih siap-siap sampai pasang reminder di hp. Cuma, belakangan ini notif twitter dan line grup lagi gak kuperhatiin banget sampai kelewat ada PO Susah Sinyal. Beruntungnya, pas gak sengaja buka line grup, ada yang setelah PO bilang kelebihan, langsung aku kontak, dan alhamdulillah masih dapat 2 dari 1.000 copies of limited and signed edition. Hihi, mungkin orang bakal aneh kali ya, buku yang ada tanda tangannya, edisi pertama dikejar-kejar. Eh, ada bonus CD Soundtracknya juga ding. Sama Stand-Up Comedy Show para pemain film Susah Sinyal.

Susah Sinyal sebenarnya sebuah film yang tayang di bioskop Indonesia pada bulan Desember 2017 lalu. Jujur, sejak nonton Cek Toko Sebelah yang rasanya maknanya dalem, aku ngerasa kudu nonton film Koh Ernest Prakasa lagi yang memang biasanya tayang di akhir tahun seperti Susah Sinyal ini. Trailernya bisa dilihat dulu.

Waktu nonton, aku bawa anak kecil (1,5 tahun). Film Susah Sinyal jadi film kedua yang kutonton dengan mengajak Mahira. Maafkan, ibu-ibu ini udah puasa nonton 1,5 tahun. Kangen tau nonton film di bioskop dan rasanya karena film tentang keluarga, aku jadi ngerasa oke aja bawa anak nonton. Ternyata, salah! Salahnya, jam nonton di jam tidur Mahira, tapi dia gak mau tidur-tidur, berakhir cranky, dan sisa 40 menit menjelang akhir film, kami memilih keluar dari bioskop. Gak puas? Jelas. Tapi mau gimana lagi.

Oke, lanjut ya, udahan dulu curhatnya…

Setelah film habis masa tayang, lihat bahwa akan ada buku yang ditulis Kak Ika & Koh Ernest. Buku ini diadaptasi dari skenario film Susah Sinyal karya Koh Ernest dan istrinya, Kak Meira Anastasia. Kayaknya baru kali ini deh, aku selesai baca buku yang diangkat dari skenario film dan rasanya puas banget karena jadi tau akhir dari film yang gak selesai kutonton. Secara keseluruhan, pasti ada beda antara film dan buku. Explorasi cerita dari buku jadi lebih luas dan itu bikin aku lebih puas karena ada hal-hal yang emang di film sedikit kurang ‘greng’ aja dan terjawab di novel.

***
Jakarta bukan jenis kota yang membuatmu jatuh cinta pada pandangan pertama. Tiga puluh enam tahun hidup di Jakarta sudah cukup untuk membuat Ellen paham bahwa kota ini tidak cocok untuk yang lemah dan gampang menyerah, dan itu membuatnya sukses menjadi pengacara di usia muda.
Ellen selalu punya solusi untuk segalanya, kecuali untuk anaknya sendiri, Kiara, remaja pemberontak yang lebih sering melampiaskan emosi dan kreativitasnya di media sosial. Sebagai single mom, Ellen membesarkan kiata dibantu ibunya, sosok yang bagi Kiara lebih seperti ibu daripada Ellen. Tanpa Ellen sadari, hubungan mereka kian renggang dan selalu terganjal masa lalu yang Ellen simpan rapat-rapat.
Segalanya ada pada waktunya, dan segalanya juga bisa tiada pada waktunya. Dan ketika tiba pada waktunya, kita tidak bisa apa-apa. Hidup mereka langsung berubah saat sebuah tragedi menerjang tanpa diduga, yang menyebabkan Ellen “melarikan diri” ke Sumba dengan Kiara, meninggalkan sementara kasus besar yang sedang dia tangani.
Diadaptasi dari skenario film Susah Sinyal karya Ernest Prakasa dan Meira Anastasia, novel kolaborasi pertama Ika Natassa dan Ernest Prakasa ini akan membawa kita ke dalam perjalanan menemukan diri sendiri, berdamai dengan masa lalu, dan juga menerima kenyataan, sepahit apa pun itu, tanpa kehilangan harapan.

***

Blurb Susah sinyal cukup jelas, bercerita tentang Ellen, seorang single mother dengan profesi pengacara handal namun memiliki masalah dengan anaknya, Kiara. Ellen tidak dekat dengan Kiara, justru Oma Agatha (ibunya Ellen) yang lebih dekat dengan Kiara. Mungkin dalam tulisanku ini akan ada sedikit yang disambung-sambungin (atau nyangkut-nyangkutin) sama filmnya.

https://photos.app.goo.gl/0RGZEyyQedAQ9nJo2

Di awal cerita, kita akan dibawa untuk melihat bagaimana dekatnya hubungan Kiara dan Oma. Kiara yang layaknya anak remaja alias kids jaman now, menyenangi dunia sosial media termasuk instagram dan youtube bahkan mampu menghasilkan uang jajan sendiri dari sana. Sementara itu, Ellen tampak terlalu sibuk dengan pekerjaannya, bahkan kadang memilih menginap di kantor daripada di rumah. Oma adalah orang yang selalu mendukung cucu dan anaknya. Kehadiran Oma layaknya sebuah jembatan yang menghubungkan dua ujung yang jauh berbeda dan tak ada kedekatan satu sama lain.

Beberapa flashback memori di masa lalu tentang kehidupan Ellen menjelaskan bagaimana hubungan Ellen dan Kiara yang tak pernah bisa dekat. Hal kecil-kecil seperti ini yang tidak tampak di film membuatku lebih terbayang dan ‘ngena’ akan alasan-alasan mengapa Kiara dan Ellen rasanya dingin satu sama lain.

Ellen sebagai pengacara handal mencoba membuka firma hukumnya sendiri dan akhirnya mendapatkan kasus perceraian seorang artis (Cassandra). Hampir di saat bersamaan pula, Ellen ditinggalkan ibunya untuk selamanya.

Meninggalnya Oma membuat Ellen dan Kiara kehilangan tempat berpegangan. Kiara di sekolah menjadi sedikit bermasalah hingga Ellen dipanggil ke sekolah dan bertemu kepala sekolah Kiara, yang juga guru BPnya dulu, Ibu Roslina. Ibu Roslina lah yang akhinya menyarankan Ellen agar melakukan quality time dengan Kiara karena kini mereka berdua yang harus saling mengisi satu dengan yang lainnya untuk saling menguatkan padahal di awal mereka sama sekali jauh dari status ibu dan anak yang harmonis.

https://photos.app.goo.gl/2TsYUCpozy92OJ6j2

Singkat cerita, akhirnya ibu dan anak ini liburan ke Pulau Sumba atas permintaan Kiara yang ngefans banget sama Andien dan liat foto-foto IG Andien di Pulau Sumba yang kece abis. Mereka menginap di Humba Resorts milik Tante Maya dan ternyata Wi-finya ngadat, sinyal buat hp di pulau itu juga yaampun bikin galau karena GSM (Geser Sedikit Mati). Jadilah Kiara banyak bete karena itu hotel hasil pilihan mamanya tapi juga sedikit ngerasa bersalah karena yang request ke Sumba juga dia sendiri. Ellen pun sama galaunya soalnya kerjaan di Jakarta juga jadinya gak kepegang padahal itu kasus perdana setelah ia bikin law firm sendiri.

Walaupun bete karena urusan sinyal yang susah (dan juga listrik pun susah), Kiara bertemu dengan Abe, pegawai Humba Resorts yang rajin dan bersahabat. Beberapa kejadian membawa Kiara dan Ellen berantem dan dingin lagi satu sama lain, walaupun pada akhirnya saat mereka kembali ke Jakarta dengan damai satu sama lain. Ellen bisa membuat Kiara tertawa dan lebih terbuka. Hubungan mereka pun kembali membaik.

Namun, jangan kira cerita selesai sampai setelah liburan saja. Kiara yang sebelumnya ikut Audisi The Next Voice akhirnya tampil di audisi langsung depan juri idolanya, Andien. Sayangnya, janji Ellen untuk menonton Kiara pun kandas karena jadwal persidangan yang molor dan berakibat marahnya Kiara kepada Ellen sampai kabur dari rumah, menuju……Sumba kembali.

Akhirnya, Sumba pulalah yang menjadi tempat damainnya Kiara dan Ellen setelah Ellen menjelaskan segalanya kepada Kiara.

***

Fiuuuuuuuuuuh….Aku jadi inget beberapa potongan wawancara Koh Ernest saat filmnya akan tayang di bioskop. Susah sinyal di film ini bukan hanya urusan susahnya sinyal di Pulau Sumba seperti yang ada pada trailer, tetapi susahnya hubungan ibu dan anak (Ellen dan Kiara) yang diangkat sebagai inti dari cerita ini.

Karena sudah nonton filmnya (walau gak sampai abis), otomatis aku nyambungin cerita di film sama novel. Beberapa hal yang mengganjal seperti kenapa sih ini Kiara dan Ellen gak dekat, kok bisa Bu Roslina (Kepsek Kiara) bisa manggil Ellen seolah akrab (padahal biasanya yang datang untuk urusan sekolah Oma Agatha), kenapa Ellen bisa semuda itu menikah padahal dia terobsesi menjadi pengacara seperti ayahnya, akhirnya bisa terjawab di buku ini.

https://photos.app.goo.gl/HwzC2iWsk2nnBXb32

Seperti filmnya yang penuh dengan komika, dialog-dialog lucu nan absurb yang muncul dari Ngatno & Saodah (asisten di rumah Ellen), Astrid & Iwan (partner Ellen di kantor), serta Tante Maya, Melki, & Yos (dari Humba Resorts di Sumba) tetap disampaikan di novel ini untuk menetralkan emosi yang terkadang dibawa haru (sebagai ibu) oleh rentetan kisah Ellen & Kiara.

Sebagai seorang ibu, baca cerita di buku ini rasanya tuh….uh, nyesek galau gundah gulana gitu. Nyelesein buku ini semalam waktu anak lagi tidur dan keliatan tenang banget. Tapi begitu bangun pagi, duh mulai deh kepala nyut-nyutan dan hati baperan. Apalagi setiap pagi atau siang, mau berangkat kerja, anak lagi ogah salaman soalnya ngerasa dimarahin kayaknya sih. Gimana bawaan ga marah-marah ya, anak mulai ikut campur waktu aku lagi siap-siap berangkat kerja, mulai ambil lotion lah, ambil botol serum, ambil lip balm dan make-make, duh udah dialihin segala cara cuma berulang terus setiap hari gitu. Harus maklum sih dia di fase terrible two, tapi masih belum nemu cara yang pas buat nanganinnya. Ugh.

Baca Susah Sinyal ini bikin baper. Yaampun, gak pengen banget nanti kalau udah gede hubungan sama anak (kebetulan anak juga perempuan) jauh gini. Dingin satu sama lain. Jadinya tuh deg-degan aja sih sekarang. Kayaknya aku sama Mahira tuh setipe, sama-sama keras kepala kayaknya dan Bojo itulah yang sering jadi penengah. Semua orang punya pertarungan sendiri-sendiri.

Menjadi ibu, memang butuh kesiapan mental, gak cuma fisik, juga kesiapan untuk berkorban bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun. Banyak pesan moral yang disampaikan melalui cerita Ellen dan Kiara. Buku ini juga mengingatkan saya sebagai ibu yang memiliki tanggung jawab terhadap kebahagiaan anaknya. Oh iya, belakangan sering juga ibu-ibu itu saling nge-judge satu dengan lainnya dan ngerasa paling bener sedunia. Huft, alangkah indahnya kalau kita saling mendukung. Well, yeah, untuk beberapa hal yang masih di luar nalarku (kayak kenapa orang gak vaksin), kadang masih belum bisa kuterima juga sih.

Adegan Ellen yang setelah melahirkan merasa stress lalu butuh pelarian itu banyak kejadian loh. That’s why, aku ngerasa punya komunitas atau teman sefrekuensi yang bisa mahamin kondisi itu penting. Atau ngga, perlu ‘pelarian-pelarian’ kecil buat seorang ibu misalnya kalau aku dengan nge-blog. Dukungan keluarga (misal Oma yang dukung dan bantu Ellen) juga sangat besar efeknya buat kesehatan jiwa ibu-ibu yang mungkin abis lahiran (biasanya anak pertama), itu banyak perasaan campur aduknya, ya lega, kaget, seneng, khawatir ini itu, dll.

Semoga selalu bisa menjadi ibu yang lebih baik setiap harinya untuk anak-anak dan menjadi istri yang lebih baik pula untuk suami.

Oh iya, soundtrack film ini bagus-bagus loh. Didengerin sambil ngebaca bukunya rasanya juga makin nambah mellow.