Anak Takut Berpisah, Mari Mengenal Separation Anxiety

 

img_6867-676x676

Memasuki usia 6 bulan, ada hal baru yang saya temui pada anak saya, Maheera (sekarang biasa saya sebut Mahire), yaitu ketakutan saat ditinggal. Saat merasa ‘ditinggal’ dia akan menjerit dan menangis. Tapi tidak semua kasus ditinggal sih, kalau ditinggal ke kantor, dia kadang tidak menangis, tapi hanya tampak bersedih, mungkin karena masih ada nenek yang menemani. Ketika berdua dengan nenek, kadang nenek cerita kalau Mahire tidak mau ditinggal padahal nenek mau masak atau sekedar buang air, langsung drama dimulai. Kalau waktu saya ada di rumah juga begitu, geser sedikit aja udah menjerit padahal cuma ambil air minum di meja, hebohnya udah kayak disiksa. Kadang sampai harus cepat-cepat saat mau melakukan sesuatu. Bahkan, kadang walau ada ayahnya, saya mulai beranjak dari kasur, dia bias langsung menjerit. Belum lagi ketika dia bangun tidur, sepertinya kalau saya (selaku orang yang menidurkan dan tidur di samping dia) tidak ada, dia langsung mencari-cari dan menangis.

Terus kenapa? Saya ga mau anak kayak gitu? Ga seneng?

Tentu di samping perasaan kesal (ya ampuuun, Mahire ibu mau ambil air doang di meja), takjub (iya takjub gini amat ya ternyata anak nangis), kaget (Mahira nangisnya ngagetin kayak disiksa kesakitan), ada perasaan senang dan bangga, bahwa artinya hubungan yang saya bangun dengan anak artinya baik, dia tidak mau terpisah jauh dari saya.
Kebetulan ada teman di Grup Birth Club June 2016 sharing tentang hal tersebut dan belajarlah saya tentang Separation Anxiety.

Apa itu Separation Anxiety?

Separation anxiety adalah rasa ketakutan untuk berpisah dan tak ingin ditinggal.


Mengapa Separation Anxiety terjadi ?

Ketika anak memasuki usia 6 bulan, anak mulai menyadari bahwa orang tua (khususnya ibu) dan dirinya adalah dua individu yang terpisah. Anak akan mulai tersenyum senang dan minta digendong. Yaaa, Mahire sih ga gini-gini amat, Alhamdulillah dia pinter, maunya sama yang dikenal aja.

Secara perlahan, orang di dekat anak menjadi favorit anak, salah satunya tentu ibu yang selalu menyusui atau berada dekat dia. Ketika terbentuk orang favorit di benak si anak, mulailai ia akan menangis dan rewel jika orang tersebut ke luar ruangan atau menghilang.

Normal kah anak mengalami hal ini?

Berdasarkan penelitian psikologis, hal ini wajar terjadi pada bayi dan merupakan fase perkembangan yang normal. Bahkan, nenek yang membantu menjaga Mahire bilang, anak ini sudah pintar, sudah mengerti kalau orang pergi. Jadi perilaku anak seperti ini sebenarnya normal, dan tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Perasaan takut berpisah sebenarnya merupakan pertanda betapa kuatnya ikatan orangtua dengan si kecil. Namun di satu sisi, kita juga ingin agar si kecil dapat menjadi lebih mandiri dan terbiasa dengan kegiatan orangtua yang tanpa melibatkannya, seperti bekerja.

Kapan Separation Anxiety terjadi? Berapa lama fase ini?

Umumnya, perasaan sulit berpisah terjadi saat bayi mulai menginjak usia 7 – 10 bulan, namun variasi rentang usia dimulainya separation anxiety sangat beragam. Pada kasus saya, di usia 6 bulan, Mahire sudah mulai mengalaminya, namun ada kasus anak mulai mengalami fase ini saat menginjak 18 bulan. Selain variasi timbul ketika awal mula usia mengalami fase ini, rentang waktu (lamanya) anak mengalami fase ini juga akan berbeda-beda. Biasanya fase separation anxiety ini berakhir ketika anak memasuki usia sekitar 18 bulan sampai 2,5 tahun. Untuk Mahire, fase ini masih berlangsung hehehe. Nanti kalau sudah selesai akan ada update lagi

Bagaimana Orang Tua Menghadapinya?

Di masa ini, tentu beragam emosi muncul. Seperti yang saya rasakan ada bahagia dan puas karena merasa Mahire mulai punya rasa ketergantungan pada saya. Tapi ada juga perasaan kesal karena ingin memiliki me-time, walau berujung rasa bersalah karena ingin memiliki me-time sendiri. Yang harus diingat adalah ketidak inginan anak berpisah dari anak merupakan adanya hubungan yang sehat terjalin di antara ibu dan anak. Perihal me-time, hehehe, saya juga masih labil. Kapan-kapan dibahas.

Pada fase ini, anak mulai membangun kemandirian, namun di saat yang bersamaan, ada rasa ketakutan yang muncul karena anak menyadari dia tidak bisa melakukan sendiri, ditambah lagi perasaan dia tidak ingin sendirian.

Berdasarkan artikel yang saya baca, pada fase ini, sebagai orang tua, kita dapat mengajarkan kemandirian sekaligus meyakinkan anak agar tetap merasa aman dan nyaman. Lama kelamaan anak akan memahami bahwa ibu akan selalu kembali setelah pergi dan anak akan tetap merasa nyaman apabila tidak bersama ibu. Hal ini membantu anak belajar mengatasi rasa takut pada perpisahan dan membangun kemandirian.

Terkait hal ini, yang saya rasakan, Mahire cukup mengerti urusan berpisah dengan saya, jika saya kerja (ya atas bantuan ada nenek juga). Tapi untuk berpisah di saat lain masih belum bisa sih.
Fase separation anxiety akan hilang dengan sendirinya seiring anak bertumbuh besar.
Namun ada hal-hal yang bisa dilakukan supaya fase ini dapat diatasi dengan baik (ini juga saya coba terapkan).

  • Kenali waktu yang tepat

Apabila ibu berniat menitipkan si kecil pada pengasuh di rumah atau di daycare, sebaiknya dilakukan sebelum fase ini muncul, sehingga dia sudah mulai terbiasa. Saat meninggalkan anak, pastikan asupan kebutuhan tetap terpenuhi serta usahakan jangan meninggalkan anak dalam kondisi lapar atau mengantuk.

  • Membiasakan diri

Ini penting baik untuk saya maupun anak tampaknya. Saya baru membiasakan meninggalkan dia saat bekerja sih. Jika bekerja lebih dari waktu biasa, atau saya ijin keluar di waktu tertentu baru mencoba kadang-kadang. Bukan niatan jelek ya, cuma ya saya kadang ingin membiasakan Mahire sama ayahnya berdua gitu. Jadi orang favorit si Mahire ya ga cuma saya dan nenek, tapi ayahnya juga.

  • Tetap tenang dan konsisten.

Saat berpisah, lakukan ritual yang menyenangkan. Ibu harus tenang dan percaya diri di depan anak, yakinkan anak kalau ibu kembali setelah urusan, berikan penjelasan kapan ibu akan kembali.

  • Penuhi janji

Pastikan ibu kembali di waktu yang di janjikan pada anak. Ini sangat penting karena dapat membantu anak membangun rasa percaya diri bahwa ia bisa mengatasi rasa kesepiannya selama berpisah dari ibu.

Selain beberapa hal di atas, saya juga melakukan beberapa hal berikut :

  • Beri pengertian dan penjelasan kenapa orang tua harus pergi. Ada beberapa artikel yang menjelaskan bahwa anak (batita atau balita) dapat diajak berkomunikasi. Saya mencoba memercayai hal ini dengan menyampaikan di awal kembali kerja (pada saat selesai cuti dan harus kembali kerja) bahwa saya harus bekerja bersama ayahnya dan Mahire akan dijaga nenek. Biasanya sebelum anak tidur, saya juga membisikkan bahwa saya besok akan bekerja dan pada saat pagi harinya saya berpamitan kalau saya akan bekerja dan pulang jam sekian. Ada pengaruh? Ya sampai saat ini kalau saya pamit bekerja, Mahire diam saja, menangis sih tidak, tapi belum mau diajak bersalaman. Ini dia sedih ga ya ditinggal?
  • Pamit dan lambaikan tangan saat berpisah. Saya berusaha untuk tidak pergi diam-diam demi menghindari drama tangis.Ternyata, pergi diam-diam dapat menghilangkan kepercayaan anak terhadap orangtua, dan anak akan merasa dibohongi. Pergi diam-diam juga mengakibatkan bertambahnya ketergantungan anak yang sebenarnya berakar dari rasa tidak percaya pada diri sendiri dan orang terdekatnya.
  • Latih dengan permainan atau kegiatan yang membuatnya tidak terus menerus berada di dekat kita. Biasanya, saat saya mencoba memasak, dia akan saya letakkan di ember besar (bahasa jawa sih jolang) yang berisi bola atau mainan sambil kadang memanggilnya dan mendekati. Tujuan saya adalah membiasakan anak agar memahami bahwa saya harus melakukan hal lain tapi tetap berusaha ada untuknya. Ya memang tidak selalu berhasil sih, kadang ujung-ujungnya kalau nangisnya dahsyat ya harus kita hentikan aktivitas lalu menenangkan dia dahulu.
  • Mencoba tegas dalam waktu tidur. Saat tidur juga merupakan latihan berpisah sementara. Untuk sebagian anak yang mampu menyadari ini, anak bisa jadi menolak tidur. Mahire pun kadang demikian, mengajak bermain (apalagi ketika dia memang sudah tidur di waktu petang), namun saya berusaha tegas dengan mengajak dia tertidur, ya kadang dengan cara menyusui sambil mengepit (menjepit seperti guling) agar dia tidak bergerak bebas (lalu duduk dan mengajak bermain, ini artinya siap-siap menahan kantuk kitanya) atau pura-pura lelah dan berkata saya akan tidur duluan ya (saya masih ragu ini cara yang baik atau tidak sih karena kadang saya berkata “Mahire, Ibu sama Ayah tidur duluan ya, kalo Mahire ngga tidur mainnya sendiri loh”).
  • Tidak berlama-lama pada saat pamit. Untuk orang yang tidak suka basa basi dan kadang mungkin ‘tidak ada hati’, setiap berpamitan dengan dia saya selalu cepat (alasan lain adalah : takut telat). Biasanya saya mengajak dia bersalaman (yah, walau ga diwaro alias dicuekin), cium pipi kanan-kiri, kadang saya peluk (kalau pas ga digendong nenek), sambil bilang “ibu kerja dulu ya, Mahire sama nenek, yang pinter ya. Assalamualaikum”, lalu dadah-dadah (kayaknya juga ga diwaro karena dia belum terlalu bisa dadah dadah sih).
  • Selalu tepati janji. Saya berusaha pulang tepat waktu (yah kadang telat kalau jemputan alias ayahnya Mahire telat pulang atau kalau memang ada tambahan pekerjaan yang menuntut saya telat). Ketika saya pergi di lain waktu, saya berusaha mengestimasi total waktu berpisah sehingga ketika saya pamit saya bisa berkata “Ibu akan pergi … jam ya, nanti jam…. Ibu pulang lagi”.
  • Tidak menolak ketika dia ingin kembali bersama kita. Biasanya ketika saya pulang, Mahire akan tersenyum dan tertawa bahkan bersuara antusias. Butuh waktu untuk berganti baju dan membersihkan diri, setelah itu baru saya hampiri dan peluk dia, ajak dia bicara. Intinya, tetap disapa walau ga bisa langsung mendekat (masih bau udara luar), setelah itu langsung dekatkan diri ke anak.

Selama hampir 9 bulan ini, dalam kasus meninggalkan anak di waktu lama (bekerja), saya rasa apa yang saya lakukan sudah cukup membentuk Mahire percaya ada orang lain selain saya (yaitu nenek) yang bisa ia percaya. Namun, untuk pergi di waktu yang singkat-singkat seperti mengambil minum, ke kamar mandi, sholat, kadang masih terjadi adegan jerit menjerit. Urusan sholat saja kadang harus di dekat dia agar dia melihat bahwa saya ada. Ya hitung-hitung sih sekaligus pelajaran untuk dia ada waktu tertentu untuk ibadah namanya sholat. Cuma tambah ga konsen aja sih kadang kalau si Mahire ngoek nangis.

Lalu bagaimana? Ya terus mencoba saja. Secara kodrat sih, memang seharusnya waktu saya sebagai ibu untuk dia ya (walau kadang ada ‘nyeleweng’nya dengan main hp), tapi, sangatlah wajar juga seorang ibu meminta time-out untuk sekedar minum dan  ke kamar kecil, apalagi secara kodrat ibu juga seorang istri yang harus memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga lain, jadi tetap harus bisa memberikan latihan berpisah kepada anak.

image566560

Sumber Bacaan :

http://www.zwitsal.co.id/bayi/separation-anxiety/?alt0

http://lactamil.co.id/artikel/separation-anxiety-saat-bayi-sulit-berpisah-dengan-mama

http://www.sarihusada.co.id/Nutrisi-Untuk-Bangsa/Tips-si-Kecil/1-3-Tahun/Separation-Anxiety-Penyebab-dan-Tips-Mengatasinya

http://pondokibu.com/separation-anxiety-jangan-pisahkan-aku.html