Sebuah Harapan dari Pulau Kemaro Palembang

https://photos.app.goo.gl/p55mCfXMCnrA694k8

Jika datang ke Palembang dengan sebuah pesawat terbang, saat akan mendarat kita bisa melihat panjangnya Sungai Musi yang membelah kota tersebut menjadi dua daerah, ulu (hulu) dan ilir (hilir). Sebenarnya, jika melihat lebih lagi, akan terlihat sebuat daratan kecil seperti pulau yang terpisah. Itulah Pulau Kemaro, sebuah delta di sungai Musi yang diapit oleh dua industri yaitu pabrik pupuk PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) Palembang dan Refinery Unit PT Pertamina.

Sebagai kota tertua di Indonesia, Palembang memang memiliki banyak area yang bersejarah dan bisa dibilang lebih menonjolkan wisata budaya sebagai andalannya. Salah satu tempat yang wajib dikunjungi ketika berada di Palembang adalah Pulau Kemaro.

Pulau Kemaro menjadi kerap kali menjadi lokasi yang digunakan untuk perayaan Cap Go Meh (hari kelimabelas Tahun Baru Imlek). Banyak warga yang datang ke Pulau Kemaro untuk melaksanakan ibadah. Saya pernah mendengar cerita, bahwa saat Cap Go Meh, bukan hanya warga keturunan Tionghoa saja yang datang untuk beribadah di Pulau Kemaro, tetapi juga dari kota lain di Indonesia bahkan ada yang dari luar negeri.

https://photos.app.goo.gl/tsxELUnbRxxTP7ak8

Nama “Kemaro” sendiri berasal dari kata “Kemarau”. Jadi, pulau ini memang tak pernah tenggelam walaupun Sungai Musi sedang pasang.

Ingin ke Pulau Kemaro, Bagaimana Caranya?

Sungai Musi yang membelah kota Palembang membuat ada banyak perkampungan di tepian sungai ini. Biasanya, di setiap wilayah tertentu terdapat dermaga untuk perahu kecil / ketek yang siap mengantar penumpang.

Salah satunya adalah Dermaga Benteng Kuto Besak (BKB) yang berada di dekat Jembatan Ampera. Mengingat Jembatan Ampera menjadi salah satu spot wajib untuk latar foto saat berada di Palembang, tak jarang orang ingin menyusuri Palembang menggunakan ketek. Untuk mencapai Pulau Kemaro bisa dari Dermaga BKB.

https://photos.app.goo.gl/Ltjiid9wmieYFegLA

Namun, banyak pula dermaga lainnya, saya memilih dermaga yang tak terlalu jauh dari rumah yaitu di sekitar Intirub (dekat Pabrik Pusri). Dermaga ini bisa dibilang yang paling dekat dengan Pulau Kemaro. Faktor tak adanya pelampung di perahu ketek sementara saya membawa anak membuat saya memilih dermaga ini dibanding yang lainnya. Saya sempat bingung karena sekarang daerah Intirub ini dipenuhi dengan peti kemas. Untungnya ada petunjuk untuk menuju penyebrangan ke Pulau Kemaro. Cerita dari petugas, akan dibangun dermaga yang lebih baik di daerah ini.

Sebenarnya, jika kita ingin datang ke Pulau Kemaro namun tidak menggunakan perahu ketek, bisa datang saat perayaan Cap Go Meh dan menyebrang dari daerah Intirub. Biasanya disediakan perahu tongkang yang dijejer menjadi jembatan penyebrangan.

Rasanya, belum ada tarif resmi berapa harga untuk ke Pulau Kemaro dari dermaga manapun. Akan terjadi tawar menawar dengan pemilik perahu ketek. Pengalaman saya baru-baru ini, pemilik perahu mengajukan Rp150.000,- dari dermaga Intirub ke Pulau Kemaro padahal bisa dikira-kira itu tak lebih dari 200 meter jaraknya. Kami pun menawar dan berakhir di Rp80.000,- untuk pulang pergi. Sempat tak ikhlas di awal, tapi pada akhirnya ya kami maklum. Mungkin penumpang di dermaga ini tak sebanyak dermaga lainnya.

Legenda Cinta dari Pulau Kemaro

Ketika memasuki komplek Pulau Kemaro, kita akan disambut dengan tulisan ‘Selamat Datang, Makmur Sejahtera’ sebuah doa yang indah bagi siapapun. Setelah berjalan sebentar, akan terlihat sebuah prasasti yang menceritakan tentang pulau ini.

Di zaman dahulu, ada sebuah kerajaan di Palembang. Rajanya memiliki seorang putri cantik, Siti Fatimah. Tak hanya cantik, putri ini mencerminkan seorang putri raja yang pandai bersopan santun, berperangai baik, serta memiliki tutur bahasanya yang lembut.

Suatu hari Siti Fatimah bertemu dan jatuh hati pada Tan Bun Ann, putra raja dari negeri China yang berusaha untuk berniaga di Palembang. Ketika ingin mempersunting Siti Fatimah, sang Raja memberikan persyaratan sebagai mahar yaitu sembilan guci berisi emas.

Sembilan guci dikirimkan dari negeri asal Tan Bun Ann beserta surat restu dari orang tuanya. Namun, Tan Bun Ann sangat kaget ketika mengetahui isi dari guci tersebut adalah sayur sawi busuk. Rupanya, orang tua Tan Bun Ann melapisi emas dalam guci dengan sayur sawi agar aman dari bajak laut. Sayangnya Tan Bun Ann tak mengetahuinya.

https://photos.app.goo.gl/mqbwuDVBAFYchDbf8

Tan Bun Ann kecewa, lalu ia membuang guci-guci tersebut ke Sungai Musi. Tak sengaja, guci terakhir pecah sebelum dibuang dan Tan Bun Ann melihat isi emas yang berhamburan. Tan Bun Ann dan pengawalnya pun berusaha mengambil kembali guci yang dibuang dengan menceburkan diri ke Sungai Musi. Namun, Tan Bun Ann tak jua kembali. Siti Fatimah yang melihatnya juga ikut menceburkan diri ke Sungai Musi. Ia pun tak kembali. Konon, setelah kejadian tersebut, muncul gundukan tanah yaitu Pulau Kemaro ini.

Ada apa di Pulau Kemaro?

Pulau Kemaro memiliki sebuah kuil di dekat dermaga. Kuil ini akan ramai saat Cap Go Meh karena digunakan sebagai tempat ibadah. Saat saya berkunjung di hari Minggu kemarin, terdapat beberapa orang yang juga beribadah di kuil ini. Namun, saat saya pulang, sudah tak tampak orang yang beribadah dan kuil juga tertutup.

https://photos.app.goo.gl/ZNo1jynETX69EhLw8

Di sisi jalan kecil yang dibangun di pulau ini, terdapat beberapa warung tenda yang menjajakan makanan. Di sekitar pulau memang ada rumah-rumah penduduk. Ketika ada perayaan, yang berjualan pun tak terbatas makanan, tetapi juga baju atau pernak pernik lainnya. Ya, memang layaknya tempat wisata lain, tak jarang orang yang sedang kasmaran mengunjungi Pulau Kemaro. Apalagi pulau ini memiliki legenda cinta, mungkin banyak yang berharap cintanya abadi seperti Tan Bun Ann dan Siti Fatimah.

Selain sebuah kuil, di tengah pulau ini terdapat satu pagoda yang tinggi menjulang. Pagoda berlantai 9 ini juga dalam kondisi tertutup. Pagoda memang sengaja ditutup, namun jika ada perayaan seperti Cap Go Meh atau Festival tertentu seperti Musi Thematic Festival Kemaro Island saat Asian Games lalu, pagar pagoda ini dibuka. Wajar rasanya jika tempat suci seperti kuil dan pagoda ini dibuka terbatas, tentunya pihak pengelola tetap ingin menjaga kesucian tempat ibadah sekaligus ziarah makam (berdasarkan legenda cinta) ini.

Menghargai Perbedaan di Pulau Kemaro

Tak hanya sekali ini saya berkunjung ke Pulau Kemaro. Saya juga pernah berkunjung saat perayaan Cap Go Meh untuk melihat seperti apa Pulau Kemaro saat Cap Go Meh. Rupanya, pengunjung tak terbatas pada yang ingin beribadah saja, namun banyak masyarakat lokal Palembang yang juga ikut dalam perayaan ini. Sebuah pemandangan yang bagi saya menyenangkan, karena artinya perbedaan bukan menjadi masalah untuk menimbulkan konflik. Semua orang bersuka cita.

https://photos.app.goo.gl/QrmWNpho5B4fhFt96

Mendatangi Pulau Kemaro dan melihat orang beribadah memberikan saya kesempatan bercerita kepada anak bahwa orang lain memiliki cara beribadah yang berbeda. Nama tempat dan bentuk bangunannya pun berbeda. Ketika kita melihat orang beribadah, tak seharusnya kita menganggu karena mereka sedang mengucap doa dan harapan. Sama seperti kita yang juga ingin fokus saat beribadah. Namun tak apa jika kita melihat dari jauh.

Usia anak saya memang baru lepas dari 2 tahun. Tapi saya ingin dia bisa berteman dengan siapapun dan menghargai perbedaan. Di Indonesia memang banyak perbedaan dan belakangan saya merasa unsur perbedaan lebih banyak ditonjolkan dibanding persatuan dan kesatuan seperti semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Harapan saya, kelak dia bisa memahami ada perbedaan dan tetap bisa menghargai orang yang berbeda dengannya.

Disambut dengan ucapan Selamat Datang, Makmur Sejahtera. Selamat Jalan Terima Kasih Semoga Panjang Umur menjadi kalimat penutup saat meninggalkan pulau ini.

 

https://photos.app.goo.gl/zeG8a2zoF3A27ENS8

Jika berkunjung ke Palembang, jangan lupa main ke Pulau Kemaro ya. Apalagi kalau berkunjung saat perayaan Cap Go Meh, akan lebih seru. Namun, tetap hargai jika ada yang sedang beribadah ya

Menilik Destinasi Wisata Baru di Palembang Melalui Pasar Baba Boen Tjiet

https://photos.app.goo.gl/wVfySs7Ob7xJqodC2

 

Sebagai kota tertua di Indonesia, Palembang tentu memiliki banyak sejarah. Kekayaan sejarah ini yang menjadikan Palembang cocok untuk dijadikan salah satu destinasi bagi pecinta sejarah. Selain itu, Palembang juga unggul dalam kekayaan budaya. Maka dari itu, wisata yang selalu ditonjolkan kota Palembang tak lain adalah wisata heritage, seperti Pulau Kemaro, Kampung Kapitan, dan Kampung Al-Munawar. Jika saya ingat-ingat, ketiganya memiliki lokasi yang serupa, di tepian Sungai Musi yang membelah kota Palembang. Bukan tidak mungkin, masih ada wisata heritage lain yang ada di tepian Sungai Musi. Asumsi itu dibenarkan dengan diselenggarakannya acara Pasar Baba Boentjit di kawasan 3-4 Ulu Palembang.

Acara Pasar Baba Boentjit diinisiasi oleh Generasi Pesona Indonesia (GenPI) Sumsel dengan tujuan mempopulerkan Rumah Baba Boentjit beserta budaya yang ada di sekitarnya. Mengangkat tema “Di Tepian Musi Kita Bersama”, acara ini menjadi ajang untuk masyarakat Palembang untuk bersama-sama mengenal dan merasakan warisan budaya yang ada di tepian Sungai Musi.


Pasar Baba Boentjit, Di Tepian Musi Kita Bersama

Gelaran acara ini berlokasi di Rumah milik Baba Ong Boen Tjit tepatnya di Lorong Saudagar Yucing No. 55 RT 050 RW 002 Kelurahan 3-4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 1. Rumah Baba Boentjit memiliki halaman yang luas dan tepat berada di tepi Sungai Musi. Oleh karena itu, walaupun untuk menuju ke lokasi dapat melalui jalur darat, namun lebih disarankan melalui jalur sungai dengan menggunakan perahu kecil / perahu ketek. Saya sendiri memilih memarkirkan kendaraan di sekitar Benteng Kuto Besak (BKB) lalu menggunakan perahu ketek dari Dermaga BKB yang berada tak jauh dari ikon baru kota Palembang, Tugu Belido. Biaya untuk naik perahu ketek berkisar antara 5.000 – 10.000 rupiah, tergantung dari jenis perahu dan jumlah penumpang. Kalau yang ingin menumpang tak banyak dan butuh cepat, bukan tidak mungkin harga lebih mahal.

https://photos.app.goo.gl/IE5T7UEO95nO0vh82

Menyusuri Sungai Musi dengan perahu ketek dapat menjadi satu aktivitas menarik. Kita dapat melihat kokohnya Jembatan Ampera yang diresmikan sejak tahun 1965 yang juga menjadi ikon kota Palembang. Semakin mendekat ke arah 3 Ulu, kita dapat menyaksikan pembangunan lain di kota Palembang yaitu proyek Jembatan Musi VI yang tentu telah dinantikan untuk segera selesai. Hanya butuh waktu 5 – 10 menit dari Dermaga BKB untuk sampai ke Rumah Baba Boentjit.

https://photos.app.goo.gl/lqzvlJcXP5bk3et43

Halaman luas yang berada tepat di depan Rumah Baba Boentjit dijadikan sebagai area pasar. Layaknya pasar, terdapat aneka pilihan kuliner yang dijual untuk memanjakan mulut dan perut para pengunjung. Tak perlu khawatir, area makan pun disediakan lengkap dengan banyak tempat duduk dan meja-meja. Kuliner apa yang ditawarkan? Tentu saja kuliner khas Palembang mulai dari pempek, rujak mie, tekwan, laksan, burgo, dadar jiwo, model, kue maksuba, pempek tunu, sarikaya, gandus, otak-otak, es kacang, pindang, dan kemplang. Pempek dan Kemplang Tunu menjadi salah satu sajian yang diunggulkan di lokasi ini karena masyarakat di area Rumah Baba Boentjit ini memang melakukan aktivitas membuat panganan tersebut sehari-hari.

https://photos.app.goo.gl/sEsEqIaZ2oWaOXj13

https://photos.app.goo.gl/04bkT4C7KMe0yWkP2

Melihat Tradisi Pengrajin Daun Nipah

Kenyang menikmati sajian justru membuat saya ingin bergerak lebih dan menemukan beberapa pengrajin nipah di pojokan Pasar Baba Boentjit ini. Memiliki nama ilmiah Nypa fruticans Wurmb, nipah adalah tumbuhan yang bisa tumbuh di dekat aliran sungai yang berair agak tawar atau rawa-rawa. Tak heran, tumbuhan nipah banyak tumbuh di area pesisir Sungai Musi. Tumbuhan nipah dapat dimanfaatkan baik buah, daun, tangkai daun, dan pelepah nipah.

https://photos.app.goo.gl/7pdLYEImHyk5QhNe2

https://photos.app.goo.gl/3am7PLtM2PaYlKoU2

https://photos.app.goo.gl/jNdPh4xa4FKMffzI2

Untuk masyarakat Kelurahan 3-4 Ulu, daun nipahlah yang diolah untuk menghasilkan kerajinan dan rokok pucuk. Kerajianan yang dapat dibuat dari daun nipah antara lain tikar, tas, topi, keranjang anyam, bahkan atap atau rumah. Umumnya, para pengrajin akan menganyam daun nipah yang memiliki bentuk mirip janur kelapa tersebut untuk menghasilkan kerajinan. Pantas saja di area gerbang pasar tadi banyak daun nipah yang bertumpuk dan keranjang anyaman warna warni. Kerajinan dari daun nipah cukup tergantung dengan cuaca karena butuh waktu untuk mengeringkan daun nipah untuk selanjutnya diproses menjadi anyaman.

Sejak puluhan tahun silam, sudah lama masyarakat Kelurahan 3-4 Ulu memiliki pekerjaan sebagai pengrajin nipah. Hal ini menjadi sebuah tradisi yang berlangsung turun temurun dan semoga tetap terjaga.

https://photos.app.goo.gl/phcSnj58lJ0mUs3k1

 

Bertamu ke Rumah Baba Ong Boen Tjiet

Baba adalah sebutan untuk laki-laki dewasa Tionghoa – Peranakan. Juga memiliki makna ayah dalam bahasa Mandarin. Baba Ong Boen Tjiet adalah seorang pengusaha keturunan peranakan yang terkenal di Palembang tempo dulu. Tak heran jika rumah Baba Ong Boen Tjiet memiliki halaman yang sangat luas.

https://photos.app.goo.gl/NsEnw4HD3OFb5bVn2

https://photos.app.goo.gl/uVEI85rGew0XMzZv2

https://photos.app.goo.gl/D8XQhdYVmptgKF9V2

Rumah milik Baba Ong Boen Tjit ini diperkirakan telah berusia lebih dari 300 tahun dan kini ditempati oleh keturunan kedelapan dari Baba Ong Boen Tjiet. Memiliki atap berbentuk limas dan berbahan utama kayu, rumah Baba Ong mirip dengan rumah khas Palembang. Perbedaan yang mencolok tentu berada di ornamen yang ada. Ukiran-ukiran dengan tulisan Tiongkok terpasang di beberapa pintu dam sisi rumah. Tak hanya itu, interior di dalam rumah pun sarat akan kekhasan budaya Tiongkok seperti adanya lampion, guci-guci dan area untuk memanjatkan doa.

Para pengunjung dapat beristirahat dan berkumpul bersama di ruangan bagian depan rumah ini yang cukup luas. Jika ingin berfoto pun, pengunjung dapat berfoto baik di dalam maupun di luar rumah untuk mendapatkan hasil foto yang instagrammable. Di bagian belakang rumah terdapat beberapa kamar yang digunakan oleh keturunan Baba Ong Boen Tjiet.

https://photos.app.goo.gl/TkQArrJ12VM1Lups1

https://photos.app.goo.gl/opq0QbrcRf0pTSw93

Di sebelah Rumah Baba Ong Boen Tjiet, juga terdapat bangunan rumah yang lebih kecil yang pada acara ini digunakan sebagai galeri hasil karya fotografi. Foto-foto didominasi oleh foto yang memiliki nilai terkait dengan keturunan Tionghoa seperti aktivitas berdoa, pagoda, perayaan Imlek, dan lainnya.

https://photos.app.goo.gl/fORWWiGsEYj1bgqt2

Untuk berkunjung ke Rumah Baba Boen Tjiet menurut saya waktu yang tepat adalah sore hari karena tidak terlalu panas. Setelah puas berkeliling di Rumah Baba Boen Tjiet, kita dapat kembali lagi ke Dermaga BKB dan menikmati matahari yang mulai terbenam saat menaiki perahu ketek di Sungai Musi.


Acara Pasar Baba Boen Tjiet kali ini berlangsung hanya 1 hari, tepatnya pada hari Minggu, 26 November 2017. Mengintip apa yang dituliskan di akun instagram Pasar Baba Boentjit, beragam aktivitas lain juga dilaksanakan seperti games, demo masak, drama, serta ada pula pertunjukan musik akustik dan tari kreasi.

Sebagai destinasi wisata baru di Palembang, bukan tidak mungkin jika Pasar Baba Boen Tjiet akan rutin diadakan setiap tahunnya. Sebagai pengunjung, saya ingin memberi beberapa masukan seperti adanya informasi lebih terkait hal-hal yang ditonjolkan misalnya ada booklet atau informasi yang bisa dibaca pengunjung di tempat misalnya tentang siapa Baba Ong Boen Tjiet atau tentang tanaman nipah dan tradisi kerajinan nipah. Selain itu, mengingat cuaca Palembang yang cukup terik, dalam pandangan saya, mungkin ada baiknya jika spot pengrajin nipah diberi payung besar agar pengrajin lebih nyaman untuk bekerja (tidak terlalu terkena terik matahari).

https://photos.app.goo.gl/WfTomWXl9Ur0hKDo1

Rumah Baba Ong Boen Tjiet dan Kerajinan Nipah di Kawasan 3-4 Ulu tidak hanya dapat dijadikan wisata karena memiliki nilai sebagai heritage Palembang. Tetapi juga membawa pesan untuk menghargai dan mempelajari keanekaragaman budaya yang ada di Palembang. Selain itu, pelajaran juga bisa berasal dari arsitektur dan interior rumah Baba Ong Boen Tjiet dan cara membuat daun nipah menjadi lebih bernilai menjadi sebuah kerajinan. Terima kasih kepada tim GenPI Sumsel yang telah menghadirkan Pasar Baba Boen Tjiet, semoga semakin banyak destinasi wisata di Palembang dan sekitarnya.

 

Lomba Blog Reportase Pasar Baba Boen Tjiet – source : Twitter @AboutPalembang

nb : Tulisan ini didaftarkan untuk Lomba Blog (Reportase) Pasar Baba Boentjit.