Bajak Laut & Purnama Terakhir – Sebuah Komedi Sejarah –
Setelah terakhir mengeluarkan buku cukup serius ‘Parent Stories’ dan novel keluarga ‘Sabtu Bersama Bapak’, Adhitya Mulya kembali melahirkan (ya daripada menelurkan kan, melahirkan lebih manusiawi) novel baru dengan genre komedi khas Kang Adhit (sok akrab? Iyes), namun kali ini ada sentuhan sejarah. Whaaat? Sejarah? Iyes banget. Seperti biasa, penerbit novel Kang Adhit masih Gagas Media. Saya beli PO di Bukukita dan selain dapat novel bertandatangan (penting, ini penting buat saya) juga dapat pouch yang lumayan oke lah buat naroh barang (kan bukunya masuk rak buku).
Di bagian prakata, Kang Adhit cerita kalau pembuatan novel ini memakan waktu 12 tahun. Wew lama sekali ya.
Secara singkat ada 3 cerita yang nanti ketemuan di novel ini. Admiral Cornelis Speelman, seorang pegawai VOC dengan jabatan yang tinggi berambisi untuk menambah kekuasaan, mencari harta karun dari kerajaan di Nusantara. Tiga orang Arya (atau keturunan Arya) yaitu Rusa Arang, Bara, dan Galuh yang memburu pusaka yang ada di penjuru Nusantara untuk dikembalikan lagi. Jaka Kelana, seorang (yang ngakunya) bajak laut dari Kapal Kerapu Merah terobsesi menjadi Bajak Laut Beneran dan selalu merasa disertai Dewa Ganteng, punya kawanan sebagai anak buah kapalnya yang sama ngaconya yaitu Surendro, Aceng, Lintong, dan Abbas. Pada suatu momentum yang memang jalannya mereka akan bertemu karena Jaka dan gerombolannya mencuri keris Cakar Wengi ke-9 dari rumah Meneer Albert.
Lalu keris itulah yang dicari oleh 3 Arya untuk dikembalikan ke asalnya. Keseruan kejar-kejaran dan keterkaitan antara satu dengan yang lainnya baru muncul setelah adegan pencurian oleh kawanan Kerapu Merah tersebut dan cerita sejarah demi sejarah pun terkuak.
Di awal-awal, saya kurang bisa menikmati novel ini, sampai adegan pencurian oleh kawanan Kerapu Merah baru deh mulai lancar imajinasi saya. Mungkin sayanya aja yang Telmi Lambung, Telat Mikir Lama Nyambung, sampai tengah-tengah buku ini saya masih lamaaaaaa banget bacanya bahkan sempat berhenti beberapa hari. Bagi saya yang biasa kalo novel lainnya gampang diimajinasikan di pikiran, ini agak susah di awal, mungkin ya karena ada unsur sejarah yang kadang buat saya sejarah itu lebih nyaman diceritakan atau dipertontonkan secara gambar visual biar keliatan seru. Mungkin kalau novel ini difilmkan (amiiiin, saya doain loh kang, semoga ga susah buatnya) saya bakal bisa lebih nangkep. Percakapan diantara Jaka dan kawanan Kerapu Merah memang khas gaya Kang Adhit rasanya yang kadang di hati ngerasa ‘apaan deh ni orang-orang’ yang kadang nyengar nyegir ketawa juga. Namanya juga komedi ada fiksinya ya harus diterima aja kali mereka di jaman semono emang bisa becandaan begitu. Khas buku yang ditulis Kang Adhit lainnya adalah footnote , selalu always ada ya. Oh ya, ada ilustrasi cerita sih di novel ini, karya Mas Apriyadi Kusbiantoro. Bagus-bagus ilustrasinya. Cumaaaaa, kurang banyak hahaha (yaiyalah ini kan novel bukan komik).
Secara keseluruhan saya cukup menikmati novel ini, lumayan asik, walau berbeda dari yang biasa dibuat, walau harus lama bacanya karena ngerasa harus mahamin dulu pelan-pelan.