Mencoba LRT Palembang Bareng Anak, Ini Tipsnya!

Adanya Light Rail Transit (LRT) Palembang yang mulai beroperasi pada 1 Agustus 2018 lalu tentu mengundang perhatian masyarakat. Ya, banyak warga Palembang bahkan dari kota lain di luar Sumatera Selatan yang juga ingin mencoba LRT pertama di Indonesia ini. Demikian juga dengan saya.

Ingin mencoba LRT sebenarnya kelanjutan dari sesi pengenalan transportasi umum ‘di dunia nyata’ kepada anak. Setelah sesi sebelumnya saya mengenalkan bus Transmusi, kali ini saya mengenalkan dengan LRT.

Baca juga : Menjajal Naik LRT Pertama di Indonesia, Apa Rasanya?

Membawa anak (usia batita) naik LRT di saat antusiasme warga sedang tinggi-tingginya tentu cukup menantang karena bisa dipastikan tantangan utamanya adalah keramaian. Sebagai orang tua, kekhawatiran anak rewel dan tantrum di tempat umum pasti ada. Anak tantrum di tempat umum yang sepi aja bisa jadi perhatian, apalagi di tempat umum yang ramai, bisa menjadi artis mendadak kita. Oleh karena itu, sebisa mungkin saya membuat anak tetap bisa nyaman selama perjalanan.

Ini dia tips mencoba LRT dari saya.

Makan sebelum perjalanan

Perut kenyang, anak tenang. Selama saya hidup plus selama menyandang status sebagai orang tua, konsep tersebut harus saya akui benar adanya. Jangankan anak, saya saja kalau lapar tingkah lakunya bisa menyebalkan.Selama perjalanan dengan LRT, kita dilarang untuk makan dan minum. Kondisi penumpang saat ini memang masih banyak yang acuh pada larangan tersebut. Namun, ada baiknya kita mengajarkan hal positif pada anak untuk mematuhi peraturan, benar kan?

https://photos.app.goo.gl/g8HK3HnZzAuBrEAy8
Perjalanan dari stasiun Bandara ke stasiun DJKA (ujung ke ujung) bisa memakan waktu hampir 1 jam. Kalau kondisi kita sedang kelaparan bisa jadi perjalanan jadi tidak menyenangkan lagi. Oleh karena itu, ada baiknya makan dahulu sebelum mencoba perjalanan dengan LRT.

Kita bisa saja mengisi perut selama menunggu kereta datang di stasiun atau peron karena ada tempat-tempat duduk dan disediakan juga tempat sampah. Di stasiun bandara juga terdapat minimarket di area skybridge. Sementara itu, di stasiun lainnya juga tak jauh dari tempat makan, bahkan untuk Stasiun Bumi Sriwijaya dan Stasiun DJKA dekat dengan mall.

 

Gunakan e-money

Pembayaran karcis LRT bisa menggunakan tunai dengan membeli karcis di loket, namun jumlahnya masih dibatasi. Kalau kita kehabisan karcis untuk jadwal yang paling dekat, kita harus menunggu loket buka untuk kereta berikutnya. Menunggu itu menyebalkan kan?

Kalau tidak mau terlalu menunggu, kita bisa gunakan e-money seperti BSB-cash, e-money Mandiri, Tapcash BNI, Flazz BCA, atau BRIZZI BRI. Jika kita sudah memiliki salah satunya, kita bisa menginisiasinya terlebih dahulu di loket. Kemarin sih, waktu saya mencoba menginisiasi tidak perlu ikut antrian yang ingin membeli karcis kertas. Selain itu, ada pula bank yang membuka penjualan e-money di stasiun LRT dan telah aktif, tidak perlu diinisiasi lagi.

https://photos.app.goo.gl/uTvdUxggerqA1jzq7

Dengan menggunakan e-money, kita bisa bergerak lebih cepat untuk masuk ke peron lalu lebih santai. Selain itu, untuk scan e-money di mesin masih lebih cepat dibanding dengan karcis kertas. Baik karcis kertas maupun e-money menjadi alat untuk keluar masuk peron (dengan melakukan tapping di mesin scan). Satu lagi kelebihan pakai e-money buat saya, karcis kertas lebih gampang keselip sementara e-money bentuknya lebih keras dan jadinya lebih mudah dijaga.

 

Pilih gerbong yang sepi

Duduk tentu akan lebih nyaman dibanding berdiri, apalagi kalau bawa anak tanpa gendongan. Berdiri? Ya bisa gempor lah ai bawa gembolan depan (anak) plus belakang (tas gembolan beneran).Begitu penumpang dipersilahkan naik ke kereta, biasanya gerbang paling depan menjadi tujuan utama sementara yang di belakang cenderung dicuekin. Kasihan sama yang dicuekin, marilah kita beri perhatian lebih.

https://photos.app.goo.gl/7vpbvc2yzGVimLPr5

Gerbong paling belakang yang biasanya diacuhkan orang-orang ternyata bisa memberikan keuntungan yaitu tempat yang lebih sepi. Paling tidak, anak bisa mendapat tempat duduk. Anak pun bisa duduk dengan nyaman.

Jika ingin mencoba LRT, kita bisa memilih jadwal yang agak pagi (sebelum jam 9) dan stasiun paling ujung (Bandara atau DJKA). Biasanya, masyarakat belum banyak yang mencoba LRT pada waktu tersebut. Stasiun paling ujung juga memungkinkan kita kebagian tempat duduk dibanding naik dari stasiun tengah-tengah perjalanan.

 

Ajak anak melihat sekitar sambil belajar

Tentu tak salah jika membanjiri anak dengan informasi yang baik. Toh tujuan awal mencoba LRT juga karena ingin mengenalkan anak pada transportasi umum.Untuk anak usia Mahira yang mulai banyak mengucap kata baru dan kadang bertanya apa itu? Saya mencoba mengenalkan dengan hal-hal kecil yang ada di sekitar.

https://photos.app.goo.gl/N2BXYF1RaEjvemSh9

Sejak di stasiun LRT, kita bisa mengenalkan profesi mulai dari penjaga loket, sekuriti, karyawan PT KAI, atau petugas lainnya yang ada di lingkungan tersebut. Kita juga bisa mengenalkan dengan kereta LRTnya sendiri, perjalanannya berapa lama, apa yang akan dilewati, belajar bahwa harus mengantre, melakukan tapping kartu di mesin, dan lain-lain.

Banyak aktivitas seru yang bisa dilakukan sembari memberikan informasi bagi anak. Belajarnya jadi tak terasa, bahkan bisa lebih menyenangkan.

 

Lakukan hal yang disukai oleh anak

Membiarkan anak melakukan hal yang disukai tentu bisa membuatnya lebih nyaman. Jika anak suka berfoto, tak apa mengabadikan momen menaiki LRT pertama di Indonesia ini. Atau bagi anak yang suka menunjuk dan mencari sesuatu, kita bisa membuat permainan mencari masjid atau Alf*mart yang dilewati.

https://photos.app.goo.gl/ZirwjxBNB73GFbFo7

Anak juga bisa berjalan-jalan atau melatih kekuatan otot dengan bergantungan. Tapi, lakukan ini kalau kereta dalam kondisi tidak penuh ya.

Dalam menaiki transportasi umum, tentu ada peraturan yang harus dipatuhi seperti mengantre saat membeli tiket, mendahulukan yang keluar terlebih dahulu, tidak makan dan minum selama di kereta, tidak mengangkat kaki di tempat duduk, tidak duduk di lantai, dan lain-lain. Kadang, orang tua ingin membuat anak nyaman dengan cara apapun. Tentunya, tetap patuhi peraturan yang berlaku karena itu juga sebagai contoh perilaku positif kepada anak.

Selamat mencoba LRT Palembang 🙂

Menjajal Naik LRT Pertama di Indonesia, Apa Rasanya?

Sejak pindah ke Palembang pada tahun 2011 lalu, rasanya pembangunan kota ini cukup banyak. Tak hanya adanya mall atau tempat makan baru, hotel-hotel juga semakin menjamur. Ya, Palembang kerap kali menjadi lokasi event-event internasional, khususnya di bidang olah raga. Sea Games 2011, Islamic Solidarity Games 2013, dan ASEAN University Games 2014 adalah event olah raga internasional yang pernah dilaksanakan di Palembang, yang memiliki pusat olah raga Jakabaring Sport City (JSC). Pada tahun 2018 ini, Palembang menjadi tuan rumah event besar lainnya yaitu Asian Games 2018.

Walaupun untuk event ini Palembang join dengan Jakarta sebagai tuan rumah, tapi antusias pemerintah daerah untuk menjadi tuan rumah yang baik sangat terasa. Perbaikan dan penambahan venue serta wisma atlet dilakukan di Jakabaring. Sarana transportasi lain pun dibangun oleh pemerintah yaitu Light Rail Transit (LRT).

LRT Palembang (ada juga yang menyebut LRT Sumsel), merupakan LRT Pertama di Indonesia. Ya, sejarah baru tentunya untuk transportasi Indonesia. Walau pada saat pembangunan sebagai warga saya juga pernah berkeluh kesah karena timbulnya efek macet serta jalan-jalan yang tertutup seng jadi tampak tak indah, setelah melihat hasilnya, saya pun tak sabar untuk mencobanya. Oh iya, LRT ini selain menjadi yang pertama di Indonesia juga menjadi LRT pertama di dunia yang melintasi sungai.

Diresmikan pada 15 Juli 2018 oleh Presiden Joko Widodo, LRT ini secara resmi mulai beroperasi terbatas pada 1 Agustus 2018. Nantinya, pada perhelatan Asian Games mulai 18 Agustus – 2 September 2018, LRT akan lebih difokuskan pada transportasi atlit, baik untuk kedatangan dari bandara sampai ke penginapan di Wisma Atlit JSC maupun untuk transportasi ke venue seperti Stadion Bumi Sriwijaya.

Sejak mulai beroperasi terbatas, banyak masyarakat yang berkeinginan mencoba. Karena saya juga belum mencoba, saya juga termasuk yang penasaran dan antusias untuk mencoba. Dan…..akhirnya, saya pun sukses menjajal LRT pertama di Indonesia beberapa waktu lalu.

Dari 13 stasiun yang ada, hanya 6 stasiun yang sudah beroperasi dan menjadi tempat pemberhentian LRT, yaitu Stasiun Bandara, Stasiun Bumi Sriwijaya, Stasiun Cinde, Stasiun Ampera, Stasiun Jakabaring, dan Stasiun DJKA / Opi Mall. Karena antusiasme warga yang besar dan saya membawa anak, saya memilih naik dari stasiun paling ujung yang dekat rumah, yaitu Stasiun Bandara. Alasannya, supaya dapat tempat duduk. Untuk jadwal LRT, bisa dilihat di instagram @lrt_palembang

Jika kita ingin naik LRT dari Stasiun Bandara SMB II, kita dapat naik dari dekat area pintu keberangkatan. Ada eskalator yang mengantarkan kita ke Skybridge menuju Stasiun Bandara. Hiasan songket warna-warni hadir di sisi eskalator. Ada pula gerai makanan dan minuman. Eh, tapi di LRT gak boleh makan ya, kita bisa makan di area stasiun. Papan penunjuk juga lengkap. Ornamen gerombolan ikan belida yang terbang menambah semarak isi skybridge.

https://photos.app.goo.gl/WYp3JgnCRyEEwJFb8

 

https://photos.app.goo.gl/zCnwThKqXtJGSy2A6

Sesampai di stasiun, saya segera menuju loket untuk membeli karcis. Saya sempat kaget, karena dibilang karcis manual untuk kereta yang akan datang sudah tidak dapat dibeli. Oh, mungkin karena beroperasi terbatas, jadi jumlah pengguna dibatasi, begitu pikir saya. Sebenarnya, untuk naik LRT kita juga dapat menggunakan e-money (electronic money) seperti BSB-cash, e-money Mandiri, Tapcash BNI, Flazz BCA, atau BRIZZI BRI. Jika sudah memiliki e-cash, kita harus menginisiasi terlebih dahulu di loket supaya bisa terbaca di mesin scan LRT. Namun, jika kita membeli e-cash di stasiun (ada petugas yang menjual juga biasanya), tidak perlu diinisiasi lagi. Hanya perlu isi saldo karena biasanya kosong.

https://photos.app.goo.gl/hetbcoUwxAQ6QLZ88

Saya memilih menggunakan karcis manual di awal karena teman hanya punya 1 e-money dan khawatir saldo tidak cukup. Karena sudah dibilang tutup kita ingin menunggu kereta berikutnya. Tapi, ada rombongan yang menawarkan karcisnya pada kami karena anggota rombongan lainnya ternyata belum datang.

Kami pun masuk ke Peron 1 setelah men-scan karcis manual di mesin. Oh iya, untuk karcis manual, agak tricky sih. Karcis tidak boleh ditempel ke mesin scan (ada jarak ke mesin). Untung ada petugas yang membantu karena beberapa kali gagal. Karcis juga tidak boleh hilang karena digunakan untuk keluar di stasiun tujuan nanti. Harga tiket dari Bandara adalah Rp 10.000,-. Oh iya, untuk tarif untuk anak masih tidak terlalu jelas. Mirip dengan pengalaman saya saat naik Trans Musi. Petugas loket hanya bilang, kalau anak digendong saat masuk peron ya tidak usah bayar. Wah, kalau nanti bawa stroller gimana ya?

Baca juga : Mengajak Anak Naik Trans Musi & Becak di Palembang

Penumpang diminta menunggu kedatangan kereta di Peron 1. Eh, kereta ternyata datang di Peron 2. Mungkin ini siasat juga, agar penumpang yang turun mendapat haknya turun duluan dan penumpang yang naik juga dilatih bersabar. Setelah penumpang semua turun, baru penumpang yang akan naik dikondisikan untuk berpindah ke Peron 2. Semua langsung berebut masuk LRT. Rombongan kami? Santai saja menuju gerbong paling belakang yang tidak banyak dilirik penumpang lain.

Pintu LRT pun menutup. LRT siap melaju menuju stasiun lainnya. Jujur saja, saya sempat melakukan kesalahan karena membiarkan anak mencoba berdiri di tempat duduk. Hal ini sebenarnya dilarang dan anak ‘seperti diajari’ tidak menghargai transportasi umum. Sempat khawatir sandal anak kotor, kita bisa membantu petugas mengelap tempat duduk dengan tisu atau tisu basah. Atau kalau memang anak (kadang suka susah dikondisikan) meminta berdiri, lepas dulu alas kakinya. Tapi kalau bisa, jangan biarkan anak berdiri di kursi ya.

https://photos.app.goo.gl/JJMjAqjrVmTfoWPR6

https://photos.app.goo.gl/keddDB1LGQ5THWqk6

Saat ini, baru ada 6 stasiun LRT yang telah beroperasi yaitu Stasiun Bandara, Stasiun Bumi Sriwijaya, Stasiun Cinde, Stasiun Ampera, Stasiun Jakabaring, dan Stasiun DJKA. LRT pun akan berhenti di enam stasiun tersebut. LRT saat ini masih belum terlalu cepat memang. Dari beberapa infografis yang seliweran di Instagram, dikatakan waktu tempuh dari stasiun awal ke akhir adalah 49 menit. Ketika saya mencobanya, masih sekitar 60 menit.

Sebuah pemandangan berbeda akan terasa ketika kereta melintasi Sungai Musi. Menyebrangi daerah ulu dan ilir Palembang kini tak hanya bisa via Jembatan Ampera saja, tetapi juga dengan LRT. Kami pun turun di Stasiun DJKA sebagai stasiun terakhir. Untuk Stasiun DJKA ini, terdapat skybridge menuju OPI Mall yang bisa ditempuh dengan jalan kaki sekitar 10 menit. Lumayan ya, gendong anak bikin gejebres baju basah kuyup.

https://photos.app.goo.gl/7VGnSvSr55JMJ1ZPA

Ketika kami kembali lagi ke Stasiun DJKA setelah mengisi perut dahulu di OPI Mall, stasiun sudah mulai padat. Memang, antusiasme warga Palembang masih tinggi terhadap LRT ini. Semua ingin mencoba dan merasakan LRT pertama di Indonesia. Banyak rombongan yang datang. Loket tiket sudah ditutup mengingat penuhnya penumpang. Saya melihat ada penjual BNI TapCash dan akhirnya membelinya karena edisi Asian Games serta dibilang tak perlu ke loket lagi untuk inisiasi sudah bisa langsung masuk ke peron. Daripada menunggu loket buka dan kereta selanjutnya datang 1 jam kemudian, saya dan teman pun akhirnya memilih membeli TapCash dan bisa masuk kereta jam 11.40.

Di Stasiun DJKA, terdapat sebuah lift. Sayangnya lift tersebut belum bisa digunakan. Ketika saya ingin naik lift saja (karena bawa anak), dilarang pertugas karena khawatir liftnya macet.

Kondisi di siang hari kereta lebih padat. Sayangnya, memang kesadaran masih kurang. Masih ada yang makan minum di LRT. Seringnya anak-anak yang memang diberikan oleh orang tuanya. Ya, kadang susah memang, anak bisa saja naik dalam kondisi lapar. Ada pula remaja tanggung yang memilih duduk di lantai. Walau sudah ada larangan bentuk sticker masih banyak pelanggaran.

https://photos.app.goo.gl/9dmVQ18YuosXKkR48

https://photos.app.goo.gl/gg2i97bwMfn5Y4SH7

Setelah 1 jam perjalanan, kami pun tiba kembali di Stasiun Bandara. Tumpukan penumpang terjadi. Rombongan yang keluar dari kereta harus beradu dengan penumpang yang sudah tak sabar ingin naik LRT dari Stasiun Bandara. Belum lagi antrian di loket yang juga panjang.

Cukup wajar jika LRT pertama di Indonesia ini menjadi rebutan para masyarakat untuk mencoba. Jujur, saya sendiri bangga karena akhirnya Indonesia punya LRT. Semoga perkembangan transportasi di Indonesia semakin maju lagi.


 

Wisata Sejarah di Kampung Kapitan, Kampung Tionghoa Pertama di Palembang

Palembang merupakan kota tertua di Indonesia, bahkan konon katanya juga masuk dalam jajaran kota tertua di dunia. Maka wajar saja rasanya jika Palembang memiliki banyak lokasi yang mengandung sejarah.

Jika mendengar kata Palembang dan kerajaan, mungkin langsung terbayang dengan Kerajaan Sriwijaya yang berdasarkan prasastinya berada di Palembang dan banyak menguasai daerah di Sumatera. Konon, setelah Kerajaan Sriwijaya runtuh, Palembang sempat dilewati oleh Laksamana Zheng He (Cheng Ho) yang melakukakan pelayaran. Namun jauh sebelum itu, telah ada perantau dari Tionghoa yang menetap lebih dahulu di Palembang dan tunduk kepada Majapahit setelah keruntuhan Kerajaan Sriwijaya.

Kelompok Tionghoa ini bermukim di sebuah kawasan yang lokasinya berada di pinggiran Sungai Musi Palembang. Kini kawasan itu lebih dikenal dengan nama Kampung Kapitan. Disebut dengan Kapitan atau kapten karena seorang dari kelompok Tionghoa (Tjoa Ham Hin) diberi kepercayaan untuk mengatur area ini oleh Belanda khususnya di bidang administrasi.

Kampung Kapitan kini tak hanya didiami oleh etnis Tionghoa. Namun, sisa sejarah yang paling terlihat dari kampong ini adalah kelompok rumah panggung Sang Kapitan yang masih berdiri tegap dan beberapa pagoda yang berada di halamannya.

https://photos.app.goo.gl/9DK5SAIEoXkxok893

Terdapat 2 buah rumah panggung yang bersebelahan berdiri menghadap Benteng Kuto Besak di seberang Sungai Musi. Bangunan rumah milik Sang Kapitan memang terlihat masih kokoh, namun kayu-kayunya sudah terlihat sangat tua dengan warna bangunan yang memudar.

Perpaduan budaya jelas terlihat dari bangunan ini. Atap rumah berbentuk limas layaknya gaya rumah di Palembang. Area terbuka di bagian tengah dari bangunan ini mirip dengan rumah masyarakat Tionghoa. Pola bangungan dengan ruang terbuka pernah juga ditemui di Rumah Baba Boentjit, salah satu kaum Tionghoa yang juga terkenal di Palembang. Fungsi dari area terbuka ini adalah untuk jalan masuknya cahaya dan udara ke dalam rumah.

Bangunan rumah ini menggunakan kayu unglen yang memang awet dan tahan hingga ratusan tahun. Sentuhan klasik Eropa sedikit terasa dari pilar-pilar yang tampak kokoh di bagian teras. Sayangnya, cat putih pilar penyangga tersebut semakin memudar bahkan ada yang mengelupas hingga menampilkan bata di bagian dalamnya.

Foto-foto Sang Kapitan terpampang di dinding area dalam rumah yang terbuka. Ada pula beberapa buku yang pernah memuat literasi tentang bangunan ini.

https://photos.app.goo.gl/qqnzz7XZWBjtht4L9

https://photos.app.goo.gl/rZXPtMENJRx4V4jy2

Perabotan kuno khas Tionghoa bisa ditemui di dalam rumah. Terdapat sebuah meja altar untuk melakukan pemujaan kepada leluhur. Beberapa patung dewa juga diletakkan di meja altar. Tak heran, jika hari raya tertentu, rumah ini juga kerap didatangi oleh orang-orang yang ingin melakukan pemujaan. Warna merah yang terdapat di beberapa sisi bangunan seperti pintu dan hiasan lampion.

Di bagian belakang, terdapat beberapa kamar. Kini rumah tersebut ditinggali oleh keturunan Sang Kapitan. Namun, jika dilihat dari kondisinya, sedikit menyedihkan karena banyak kerusakan yang jelas terlihat.

https://photos.app.goo.gl/wEsZhAonp9phreHq2

Saat saya datang di tahun 2017 lalu, saya tergelitik untuk bertanya, apakah bangunan bersejarah ini mendapat perhatian dari pemerintah. Sempat dijawab bahwa memang ada beberapa dinas yang datang tapi belum ditindaklanjuti lebih jauh.

Menjelang Asian Games yang diselenggarakan di Palembang, para penggiat pariwisata Sumatera Selatan dan Palembang semakin memperhatikan tempat wisata di Palembang. Tak terkecuali Kampung Kapitan, rasanya saya melihat banyak kunjungan dari komunitas ke Kampung Kapitan ini. Semoga hal tersebut menjadi langkah awal untuk merawat bangunan bersejarah ini dan kelak saat Asian Games sudah siap untuk menjadi destinasi wisata.

Jika berkunjung ke Palembang, boleh melancong sebentar ke Kampung Kapitan untuk belajar sejarah. Kampung Kapitan berlokasi di Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 1, Palembang. Jika ingin berkendara dengan mobil, bis, atau motor sampai kampong ini, kita dapat menuju ke daerah Seberang Ulu (melewati Jembatan Ampera jika arah dari bandara), lalu berputar ke arah Pasar Klinik dan Kampung Kapitan ada di sebelah kiri.

Ingin merasakan sensasi lainnya? Naiklah perahu ketek dari seberang Benteng Kuto Besak. Ada seperti perahu getek yang sedang menunggu untuk menyebrangkan orang dari daerah Seberang Ilir ke Seberang Ulu. Hanya perlu sekitar 5-10 menit dengan biaya kisaran Rp 5.000,- s.d Rp 10.000,- per orang untuk sekali jalan.

[Jalan-Jalan] Mengenal Sejarah di Museum Balaputeradewa Palembang

Sesungguhnya sudah dari jaman masih belum nikah dan lagi hobi jalan-jalan-nya, pernah lihat video tentang Ekspedisi Rupiah, yang intinya sih, bagian belakang uang rupiah kita itu kan ada potret budaya atau suatu tempat atau kekhasan suatu daerah, yang bisa didatengin atau dikunjungin kalo mau. 

Nah, di uang 10.000 rupiah yang beredar sekarang ternyata ke-khas-an bagian depan dan belakangnya berasal dari Palembang, kota yang jadi tempat domisili kita sekarang. Jadilah, mumpung di sini dimampirin. Sebenernya sih udah sejak lama pengen, tapi ya itu tadi, ada aja alesan jadi belum-belum.

Uang 10.000 rupiah tampak depan dan belakang, kalo di dompet sih milihnya yang gambar Soekarno-Hatta 😆


Ceritanya sih sabtu abis nganterin nenek pulang pengen main ke mall buat ngadem, eh malah penuh banget pintu masuknya, ya udah deh pulang aja, muter-muter jalan ternyata macet di mana-mana eh si ayah inget kepengenan si ibuk pengen ke rumah limas, jadilah semakin bermacet-macet ria menuju Museum Balaputeradewa tempat adanya rumah limas itu.

Museum Balaputeradewa Palembang , ada di Jalan Srijaya I No.288, KM 5,5 Alang-Alang Lebar, Sukaramai, Palembang, atau di sini tepatnya. Patokannya sih setelah Pasar, belokan Unit PMI Palembang. 

Masuk di area parkir museum lumayan luas dan adem (masih banyak pohon-pohonnya), di halaman luar ada beberapa patung atau arca. Masuk museum bayar 5.000 rupiah. 

Saya ambil tampk depan museum dari Jalan2.com karena lupa moto

 
Waktu masuk setelah dari area lobi / tempat membayar karcis, ada kolam kecil yng di atasnya berderet beberapa arca. 


Dari area tersebut kita bisa berbelok ke kiri dan melihat ada 3 ruang galeri utama yang ada di museum itu dan taman dengan patung naga layaknya perahu bidar yang sering ada lombanya di Sungai Musi. 


Eh ternyata ada ruang kecil, yaitu Galeri Melaka, yang isinya tentang warisan dunia atu budaya dari Melaka (Malaysia). Dugaan saya sih, ada kekerabatan atau kerja sama antara Palembang dan Melaka ini, mungkin berdasar sejarah atau kontur geografis yang mirip. 


Lalu di ruang galeri utama yang pertama, terdapat galeri-galeri sejarah manusia dari zaman batu. Ada replika Gua Putri juga yang berada di Sumatera Selatan


Beranjak dari situ, kita bisa berjalan menuju Rumah Limas dengan melewati beberapa patung arca.


Dan sampailah kita pada rumah limas. Jangan lupa, foto dulu bareng uang 10.000 rupiahnya.


Hehe, sebenarnya sih inti dari ke museum ini pingin ke rumah limasnya eh ternyata museumnya juga menyimpan segudang informasi, yah, emang sih karena fokus ke rumah limas ruang galeri kita skip, gak diperhatiin banget setiap benda berharga di museum itu. Mungkin next time kalo si Ndukni udah gede makin ngerti dan kita masih di Palembang, kita bakal datengin lagi museum ini.


Catatan kami sih, jangan ke sini siang-siang terik, panas banget! Palembang biasa aja udah bikin gerah yah, hehehe apalagi siang-siang terik. Tapi sih, museumnya (di ruang galerinya) cukup adem sih. Pencahayaannya juga bagus. Cuma emang bangunannya terkesan tua dan kusam sih. Overall, tempat ini bisa jadi salah satu wisata sejarah di Palembang, dan jadi obyek foto-foto narsis sekalian ekspedisi rupiah.

Anak bayi dibawa narsis ke museum

Ini sekilas video di sana.